Akhir Perjalanan Menjadi BP HMS ITB

Reza Prama Arviandi
11 min readFeb 7, 2019

--

Hampir 3 tahun menjadi kuya kemudian menjadi Bos di HMS ITB merupakan perjalanan yang tak terlupakan. Banyak cerita yang pantas diceritakan kembali. Ada juga kebodohan yang berharap tidak perlu diteruskan.

Untuk menulis catatan ini, saya bingung untuk memulai dari mana. Tentu, setiap peristiwa yang saya jalani punya cerita sendiri. Semoga tidak ada yang saya lebih dan kurangkan.

Awal Masuk Teknik Sipil

Seperti anak yang masuk FTSL lain, memilih Teknik Sipil sebagai program studi lanjutan setelah jenjang Tahap Persiapan bersama merupakan idaman mayoritas mahasiswa. Hal tersebut terlihat lewat kuesioner yang dibuat oleh angkatan. Pada kuesioner pertama hampir 75% masih berharap masuk Teknik Sipil. Sampai pada kuesioner ke 3, turun menjadi 200an orang yang memilih Teknik Sipil.

Alasan saya masuk disini memang beda, mungkin dengan kebanyakan yang lain. Pertama, saya punya hasrat masuk ITB sudah sejak lama bahkan sejak SMP. Hal tersebut semakin menggebu-gebu pada kunjungan ketiga saya ke Bandun, yaitu pada saat kelas 10 SMA. Saya berhasil menjadi juara di LKI Pusair oleh Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Acara tersebut diadakan di Bandung. Di final saya dibantai habis oleh beberapa dosen konsentrasi air ITB, salah satunya karena menggunakan kata judul penelitian “spring”. Menurut salah satu juri yang menjadi peneliti rekayasa hidrolika sebuah kampus di Jepang, “spring” sering digunakan menjadi padanan kata “sungai di mulut gua”. Padahal saat itu kami mengartikannya sebagai alat pegas yang kami modifikasi untuk memberi efektifitas lebih pada bangunan tenaga air, PLTMH. Akhir cerita, ketika saya masuk kuliah, saya mendapat pencerahan bahwa apa yang saya buat sewaktu SMA adalah penerapan dari Perpetual Energy. Sesuatu yang sejak zaman Galileo Galilei sudah dikatakan sebagai Pseudo Science. Hal ini berkaitan dengan penerapan hukum kedua Newton.

Alasan kedua sebagai anak daerah, saya merasa dekat dengan berbagai produk rekayasa yang dirasakan oleh banyak orang di sekitar desa saya. Ketika irigasi tidak berfungsi, aliran sungai yang kering, jalan yang tidak layak, masih banyaknya jembatan antar desa yang tidak tersambung, dan sulitnya akses untuk mobilitas ke kota adalah beberapa permasalahan yang saya rasakan serta lihat dengan mata telanjang. Banyak kesejahteraan masyarakat di gantungkan oleh satu kata bernama infrastruktur.

Alasan ketiga, bidang teknik sipil merupakan bidang yang sangat dekat dengan infrastruktur dasar. Pemenuhan infrastruktur dasar manfaatnya akan dirasakan oleh seluruh masyarakat tanpa memandang kelas ekonomi. Pemenuhan infrastruktur dasar akan mengurangi dampak kemiskinan yang diakibatkan secara terstruktur, lewat kekurangmampuan pemerintah sebagai regulator mengelola hal tersebut.

Alasan keempat, melihat SIBADES, salah satu program dari HMS ITB sebagai organisasi kemahasiswaan di Teknik Sipil ITB membuat berbagai infrastruktur penunjang, terutama di tahun 2011 dengan SD Tahan Gempa. Sebagai anak yang awam dan merasa akses info terhadap pendidikan tinggi masih kalah jauh dengan teman di kota besar, SIBADES memberikan harapan bahwa anak Teknik Sipil ITB berjiwa sosial yang tinggi dan luhur.

Alasan kelima, ketika baru masuk Teknik Sipil di tahun kedua, saya mendapat beasiswa dari salah satu angkatan alumni HMS ITB. Beasiswa tersebut membuat saya lebih survive, mendapat banyak keuntungan, serta mendapatkan banyak challange. Salah satu tantangan yang ditanyakan salah satu Bos saat seleksi saat itu yaitu apa yang akan kamu buat bersama HMS ITB nanti? Saya jawab akan berkontribusi lebih daripada yang lain walaupun ada di belakang layar.

Awal Menjadi HMS ITB

Powerpoint Audiensi Kastrat HMS ITB

Ketika di kader menjadi seorang Kuya sebelum menjadi Bos di HMS ITB, saya melonggarkan diri untuk lebih aktif dari awal. Ya karena di tahun pertama di TPB sebenarnya saya juga tidak terlalu aktif untuk serius di kemahasiswaan. Walaupun banyak acara dan organisasi dengan menjadi staff yang saya ikuti. Namun hanya membangun paguyuban mahasiswa daerah saja. Ya membangun paguyuban mahasiswa daerah bernama Ganong ITB. Pernah hidup ditahun 70–2000an awal. Kemudian mati suri karena kebijakan kampus yang memberlakukan biaya masuk awal sebesar 50 juta sebelum bisa masuk ITB. Hal itu terjadi di medio 2004–2012. Saya akan tuliskan lebih panjang nanti.

Bukti lebih aktifnya saya saat kader bisa dibuktikan dengan selalu mengikuti panggilan malam, menjadi orang yang mau mendampingi di acara malam, menjadi PJ salah satunya slayer kaderisasi, dkk. Saat itu saya sungguh bersemagat untuk pertama kalinya mengikuti kaderisasi di kampus ITB. Sebelumnya maksimal 3x datang kaderisasi lembaga lain saya sudah males. Saya nggak punya tujuan untuk datang lebih jauh. Tapi di HMS ITB berbeda.

Setelah lulus kader, ada kegiatan baru untuk menantang kami anggota baru menyelenggarakan kegiatan yang bermanfaat satu angkatan. Kesematan berharga ini tidak akan terlewatkan. Bersama Aldy, salah satu penerima manfaat beasiswa alumni, saya mulai untuk bergerak maju dan mengatur strategi. Akhirnya Aldy berhasil maju dan menarik saya menjadi seorang ketua departemennya.

Setelah itu kehidupan di HMS ITB berlalu begitu cepat. Saya merasa banyak hal yang bisa saya lakukan, namun berdiam diri himpunan tidak menawarkan apa-apapun untuk mendukung hal tersebut. Akhirnya saya bergabung dengan salah satu tim riset UAV Aksantara ITB. Tim tersebut sekarang sudah menjadi sebuah unit mandiri disokong dana besar dari berbagai pihak. Lewat tim tersebut hasrat untuk ambil bagian dalam gelombang terdepan teknologi di Indonesia sangatlah terpacu. Kehadiran dan suasana greget tersebut bukan karena paksaan, namun hadir karena ambisi menggebu masing-masing orang yang tersalurkan dengan baik, tentu dengan kordinasi yang baik.

Ketika tiba masa panggilan dan desakan untuk menerima amanah dari beberapa tempat hadir. Saya saat itu diambang keraguan. Orang pertama yang meminta bantuan yaitu Aldy, orang yang sudah saya anggap sebagai saudara sendiri. Aldy mengutarakan kegelisahan dan berkeinginan untuk maju membawa kemudi HMS ITB setahun kedepan. Selang beberapa waktu saya kemudian ditawarkan untuk beberapa posisi di Aksantara. Sebuah kegalauan untuk memilih hal yang sebenarnya di dua tempat tersebut saya punya kegelisahan yang besar. Hambatannya, saya kurang sering main di HMS ITB, sedangkan di Aksantara tembok mentok kegelisahan saya kelihatan begitu jelas karena bukan lingkup kegiatan yang setiap hari saya adu.

Saat itu yang lebih mendesak adalah Aksantara ITB karena naik di akhir tahun 2017. Sedangkan di HMS ITB kalaupun Aldy bisa naik, baru di bulan Februari 2018 paling cepat. Hambatan lain, posisi saya yang akhirnya turun jauh sampai di bidang departemen pun ternyata masih kosong karena calon yang ada belum mau membagi kesibukan di Aksantara. Saat itu Aksantara sangat butuh orang untuk segera memulai recruitment anggota baru. Akhirnya saya mengalah dengan hadir menjadi badan pengurus, membuat grand design alur kerja, planning setahun kedepan, dan mengerjakan banyak hal di lingkup tersebut. Namun, disisi lain saya masih keukeuh apabila di HMS ITB Aldy berhasil naik, maka jabatan di Aksantara akan saya tinggalkan.

Ternyata tidak semudah itu, proses transisi harus dilalui beberapa bulan sampai di April 2018 karena pembentukan tim untuk kompetisi harus segera dilakukan di Aksantara. Aldy berhasil melenggang mulus membawa banyak kegelisahan yang saya bersamai. Aksantara harus saya tinggalkan untuk mimpi baru di HMS ITB.

Hadir dan Mimpi di HMS ITB

Foto Epik Menjadi HMS ITB

Beberapa kegelisahan awal tentang HMS ITB saya tuangkan lewat beberapa diskusi dengan Aldy, walau hanya beberapa saja yang akhirnya ditulis. Yang berhasil melenggang salah satunya yaitu tentang keberadaan tim riset. Saya yakin sekali saat itu kebutuhan sekunder yang tidak terungkapkan di HMS ITB yaitu kesempatan melakukan riset walau berbranding sebagai tim lomba. Thesis itu terjelaskan oleh aktivitas beberapa anggota HMS ITB yang banyak mengikuti lomba namun jarang terlihat di berkegiatan di himpunan. Saya titip ke Aldy walaupun nanti bukan saya yang memegang tetapi hal ini bisa menjadi terobosan baru yang patut dicoba dan dipertanggungjawabkan. Ide seperti ini sudah pernah saya sampaikan ke Bang Kenjo, selaku BP yang mengurus tentang kompetisi, namun mungkin karena usulan tersebut saya bicarakan ketika masa aktif BP, maka hal tersebut hanyalah menjadi angin lalu.

Contoh hal lain yang belum bisa terlaksanakan yaitu evolusi majalah Cremona HMS ITB menjadi digitable dan berplatform. Hal yang paling mudah dilakukan yang saya ajukan yaitu dengan ATM (Amati, Tiru, Modifikasi) dari apa yang sudah dikerjakan di Clapeyron UGM. Sebuah platform yang digawangi motor jurnalistik oleh teman-teman Teknik Sipil UGM. Isinya menyeluruh mulai dari pembuatan majalah keprofesian, penulisan isu-isu infrastruktur terkini, hingga konten video pendek yang diminati millenial dan pembaca digital saat ini. Saya melihat keberlangsungan Cremona tinggal menanti beberapa edisi lagi kalau tidak segera berevolusi. Hal ini karena pembaca juga sedang mengalami shifting, sedangkan Cremona berjalan di tempat.

Salah satu hal yang saya ingat dalam setiap diskusi, orasi, ataupun hearing, Aldy sering menyebutkan bahwa landasan berjalannya organisasi harus ditopang oleh kebutuhan seluruh anggotanya. Jelas karena organisasi hadir karena tujuan bersama anggotanya. Tanpa konsensus kesepakatan organisasi akan mati. Oleh karena itu abstraksi kebutuhan tersebut Aldy mengutip dari pendapat seorang ilmuwan teori kepribadian bernama Maslow. Hal yang baik agar segala hal mampu disimbolkan, untuk mengurangi pemilihan prioritas kebutuhan yang tidak rasional. Termasuk beberapa kegelisahan saya yang mungkin dianggap tidak relevan bahkan rasional mengingat kebutuhan massa HMS ITB.

Ide untuk menjadikan pemilihan BP menjadi terbuka untuk menarik minat masa saya dengungkan terus setiap berdiskui dengan Aldy dan teman timses serta promotor lain. Membuat pemilihan tertutup memang menjadikan kita nyaman untuk bekerja dengan orang yang kita kenal dekat sebelumnya. Tapi memilih yang terbaik dari semua potensi yang ada tentu pilihan yang lebih bijak. Hal tersebut bisa mereduksi kemungkinan pengabaian potensi anggota, seperti yang terjadi pada Aldy atau saya hehe, ketika berada di Tahun Persiapan Bersama dahulu. Sebagai anak daerah yang belum punya kongsi atas siapapun, kesempatan untuk menjadi seorang pemimpin di shaf depan terlalu sulit. Hal tersebut karena kami belum punya kekuatan massa.

Keterbukaan proses pemilihan juga ada poin yang lebih buruk dibanding pemilihan tertutup. Minat untuk menanggung beban amanah pada beberapa sektor ternyata sangat rendah. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor yait sektor tersebut adalah sektor baru, sektor yang sebelumnya bermasalah, dan sektor yang minat di tahun itu sedikit. Akhirnya Aldy, membuka celah dengan mengajak dengan pendekatan personal calon yang akan ditembak untuk ikut pemilihan. Hal tersebut masih belum cukup juga, pendekatan personal lewat calon BP lain yang sudah terseleksi akhirnya dilakukan.

Contoh untuk posisi Tim Riset Profil H sangat sulit untuk didapat. Saya akhirnya melakukan tindakan yang bodoh dan nekat dengan mendaftarkan 2 teman yaitu Kevin Pantouw dan Anantyanto. Saat itu rencananya beberapa teman lain saya mau mengabari sebelum pengumuman lewat Aldy. Eh, ternyata pengumuman Aldy, dipercepat dari tanggal yang bocor lebih awal. Hal tersebut membuat Kevin Pantouw berperang dingin selama beberapa hari dengan saya, halah.

Departemen lain yaitu Kastrat yang akhirnya saya pegang pun sempat kosong tanpa peminat. Saya sudah bertekad dari awal kalau sampai tidak ada, saya bakal ikut maju. Hal itu tersampaikan ke Aldy di awal menjadi promotor untuk Ketua Himpunan. Akhirnya saya terpilih bersama Eki, walau pengalaman di bidang pergerakan ke-kastrat-an hanya ada di magang Sospol KM ITB 2016 dan di Forum Muda Ponorogo. Jadilah lengkap saya berhasil magang di BPA dan Sibades, staff di senator, kemudian ikut menulis di Cremona, dan menjadi BP di HMS ITB.

Menuliskan Mimpi di Kastrat HMS ITB

Saat itu sebelum memulai berkegiatan di Kastrat kami, saya dan Eki, memulai dengan berdiskusi dengan banyak pelaku kajian di HMS dan lembaga lain di KM ITB. Pengetahuan nol terhadap kondisi state Kastrat di HMS ITB, menjadikan kami harus meneguk berliter-liter informasi seperti gelas kosong sedang terisi air.

Kegiatan Kastrat kami terjemahkan menjadi 3 hal yaitu membaca, menulis, dan berdiskusi. Tujuan besar kami sederhana yaitu membuat setiap anggota HMS ITB dan lingkungan sekitar menjadi lebih peka dan kritis terhadap kondis tidak idealnya. Tujuan tersebut kami pikir mudah dicapai, walaupun melihat Kastrat sebelumnya berdarah-darah bahkan sebelum mencapai tujuannya. Perjalanan kami pun sama, berat.

Kegelisahan dimulai akan tidak adanya ruang untuk beropini dan menuliskan hasil diskusi di HMS ITB. Website dari ITB yang down dan lupa password, tentu bukan halangan untuk menciptakan ruang lain. Kami membuka ruang baru tersebut lewat medium ini. Awalnya keinginan kami, medium ini bakal ramai digunakan. Ternyata juga tidak semudah itu. Pensuasanaan sampai pemberian oleh-oleh untuk penulis medium pun tidak membuat banyak yang iku menulis. Berpindah ke media lain seperti medium pun perlu waktu ternyata. Ah saya belajar banyak akan hal ini. Namun tetap saja tulisan di medium ini cukup banyak. Ada 20an tulisan belum ditambah dari tulisan lomba menulis. Ditulis belasan penulis dan hampir belasan himpunan. Bahkan akhirnya pun jadi buku yang kami namakan Buku Putih Kastrat HMS ITB 2019 sebanyak hampir 400 halaman.

Kegelisahan lain yaitu ruang berdiskusi yang nyaman dan ringan. Untuk periode ini, kami menawarkan filosofi dari angkringan. Sebuah simbol yang menembus ruang dan waktu untuk menghantarkan setiap manusia berbicara tulus satu sama lain. Tidak lupa kami sediakan kopi hangat dan jajan sebagai peneman obrolan.

Acara kajian yang selalu dianggap berat pun akhirnya punya audiens yang lebih banyak selama saya menjadi seorang HMS. Jika sebelumnya hanya berjumlah belasan sampai 20an, kami berhasil menghadirkan hampir 60–70an orang. Sayang absensi tidak berjalan ketat. Jadi yang absen cuma setengahnya. Selain itu pemilihan isu karena tidak adanya roadmap isu di awal jadi seringkali mendadak sampai hanya ada waktu seminggu untuk sounding di media sosial. Namun keberadaan kajian ini harus tetap ada karena nanti ungkapan HMS adalah himpunan kajian bakal hilang, ditelan zaman, dan tidak relevan?

Ruang literasi kritis lain untuk membaca juga tidak ada. Pengalaman sebagai anggota dari Komunitas Sastra sewaktu sekolah dulu saya coba terapkan di Kastrat ini. Sebenernya ide ini diucapkan lebih dahulu oleh Eki, wakil saya, ketika di Unjani acara FKMTSI. Hal yang dibawa Eki adalah acara mengkliping koran setiap hari yang diisi oleh staff. Mengapa mengkliping koran? Karena koran sebagai media yang berkurasi tinggi, lebih terpercaya untuk belajar membaca dan memaknai tulisan yang benar-benar bagus. Koran yang terbit dalam satu hari memiliki batas edit yang lebih lama daripada media online yang redaksionalnya kadang kacau walau media arus utama.

Pelakasanaannya ternyata tidak mudah juga. Membuat dan mengawali dari angka 0 menjadi 1 ternyata berat. Perlu dicontohkan dulu ternyata dan konsep teknis yang jelas dalam mengkliping hal tersebut. Kebutuhan mengklipingpun ternyata ketika berjalan bukan hanya untuk belajar membaca tapi juga sebagai inspirasi untuk membentuk kajian yang selanjutnya. Kamipun pernah kosong selama 2 bulan dalam mengkliping karena ujian dan libur. Selanjutnya memang harus punya timeline jelas dan tujuan yang lebih runcing agar proses literasi semacam ini berjalan lebih lancar.

Program kerja terakhir yaitu HMS Bersikap. Awalnya kami kesulitan untuk membuat parameter apa yang tepat agar program ini berjalan. Karena pada kenyataannya adanya sikap hanya akan hadir apabila dibutuhkan. Berkaca pada himpunan lain, parameter yang ada cenderung lebih longgar untuk keberhasilannya. Namun di HMS berbeda, parameter haruslah tegas, terukur, dan dapat dipertanggungjawabkan. Parameter kami akhirnya tertulis bahwa peristiwa yang akan dibuat sikap adalah peristiwa yang dianggap penting oleh Departemen Kastrat dan disetujui oleh Massa HMS ITB. Di akhir kami akhirnya membuat sikap terhadap permasalahan infrastruktur kebencanaan. Sikap kami sudah didiskusikan pada Angkringan ketiga pada bulan September. Isinya bisa dilihat di link ini. Sikap tersebut kami sampaikan dalam Diskusi Publik Infrastruktur KM ITB 2018. Acara tersebut mengundang Dirjen Cipta Karya PUPR yang juga Ketua Alsi ITB, Ketua Humas BNPB, Mantan Ketua PVMBG, serta Ketua Pusat Gempa Nasional.

Oleh beberapa analisis evaluasi kami, beratnya berada di Kastrat disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, kurikulum teknis sipil yang teknis-oriented. Seorang sarjana sipil dengan akreditasi jurusan internasional diharapkan mampu mengatasi dan paham atas seluruh cabang keilmuan di rekayasa sipil, seperti struktur, geoteknik, transportasi, manajemen kontruksi, dan air. Pendekatan akan kebijakan yang mengikuti seluruh calon engineer dirasa bukan prioritas utama. Kami melihat di himpunan mahasiswa lain seperti HMTM Perminyakan Patra, HMTG GEA, dan hampir semua himpunan lain di ITB, mata kuliah kebijakan boleh diambil bebas oleh mahasiswa tanpa persyaratan apapun. Greget itu sejalan dengan perkembangan diskusi di lingkup mahasiswa yang mampu menerjemahkan hal-hal teknis tidak berjalan baik karena pengaruh hal non teknis lain berjalan tidak pada rel-nya.

Alasan kedua, beban akademik yang besar, menumpulkan kekritisan teman-teman karena tugas di kelas maupun diluar kelas masih belum terpegang semua. Kurikulum Teknik Sipil ITB saat saya berkuliah memang cukup bagus untuk menjadikan kami belajar aspek desain sipil secara menyeluruh. Hal ini juga dampak dari akreditasi ABET di Teknik Sipil ITB. Namun kritik dari beberapa dosen di kelas juga berkata kekreatifan kami berkurang dari generasi sebelumya. Selain itu keinginan menjadi entrepeneur juga berkurang di generasi kami karena tidak cukup gaul dengan bisnis dan hal lainnya.

Alasan ketiga, zaman telah berubah, mungkin bentuk diskusi yang berkumpul perlu didefinisikan ulang. Kebutuhan eksistensi manusia bisa saja bergeser dengan pengungkapan diri dengan pemuatan video beberapa detik di internet. Hal ini harus terus digali oleh generasi setelah saya. Pada kesempatan yang saya lakukan, saya juga menggali banyak hal baru. Saya masih berharap banyak hal yang sudah saya lakukan kalau itu baik akan diteruskan. Semisal ada yang buruk tolong diganti dan dicoba hal yang lebih baik.

Hal lain bakal saya teruskan ceritanya di hari selanjutnya.

--

--

Reza Prama Arviandi
Reza Prama Arviandi

Written by Reza Prama Arviandi

An amateur. Inclusive infrastructure. You can reach me at rezaprama.com

No responses yet